Pulang


Aku pulang ke belantara, setelah tuntas dari pasung, cocok hidung dan kekang.

Aku pulang melewati jalan wajah asing. Pepohonan Tak kukenal, serta rumput yang meninggi.

Aku pulang namun aku tersesat ke kandang. Aku pulang kandang.

2023 Narita

Presentasi terakhir


Rabu kemarin, akhirnya saya menyampaikan presentasi terakhir di depan ruang seminar. Presentasi yang sangat sederhana, tidak ilmiah, namun paling berkesan selama menjalani studi doktoral di todai. Judulnya adalah “farewell presentation”. Ya, saya akhirnya dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Ph.D. dari Graduate School of Agricultural and Life Sciences, Tokyo Daigaku. Alhamdulillah. Terima kasih atas bantuan semua dan doa bagi semua yang sedang menjalani studi. Semoga dimudahkan langkah-langkah selanjutnya. Aamin.

Tokyo, 2023

Berikutnya apa?


Sekitar 22 hari setelah berhasil mempertahankan disertasi di depan penguji, saya mengalami apa yang disebut “buta arah”. Setiap hari, saya masih berangkat ke laboratorium, membuat desain atau model, melakukan analisis data, melakukan penelitian, menguji hipotesis, namun sepertinya ada yang salah.

Setelah berjalan dua minggu, saya baru menyadari bahwa saya sudah kehilangan arah. Dan saya juga buta arah. Atau, mungkin seperti tikus di depan predator: beku psikologis.

Sempat saya berpikir apakah hanya saya? namun, rupanya ada orang yang menceritakan di sini yang intinya, karena terlalu lama berada dalam institusi pendidikan, saya menjadi kehilangan “jati diri” ketika keluar dari sistem tersebut. Kalau dipikir-pikir, memang demikian ya, semenjak usia 6 atau 7 tahun sampai selesai doktoral ini (usia 36), hanya ada waktu sekitar 4 tahun saya berada di luar sistem, itupun saya masih menjadi “guru” atau “dosen” sehingga entitas sebagai “diri” menjadi kabur dan sulit dideskripsikan.

Saya jadi kembali berpikir, apakah sistem pendidikan yang berada di negeri ini sudah benar-benar menjadikan kita sebagai “diri yang utuh” ketika keluar dari sistem? atau justru kita menjadi terinstitusi (meminjam istilah dari film Shawshank Redemption) dengan sistem pendidikan sehingga kita kehilangan “diri” ketika di luar sistem itu?

Kalau benar sistem pendidikan sudah bisa menjadikan orang yang masuk ke dalamnya siap untuk menjadi “dirinya”, apa buktinya? atau apa yang menolak ini? Kalau benar sistem pendidikan saat ini menjadikan kita tawanan pendidikan yang tidak memiliki “diri” untuk memutuskan apapun, apa buktinya? atau apa yang menolak ini?

Saya kembali merenungkan ini lebih dalam dan membuat beberapa list apa yang saya “mau” bukan apa yang sistem “mau”. Namun, rupanya mayoritas dari apa yang saya tulis adalah kemauan yang “sistemist”, seolah saya kehilangan kemampuan untuk memutuskan apa yang “benar-benar” saya mau.

Ada ide?

Mempersiapkan Ujian Tesis/ Disertasi


Pengalaman mempersiapkan ujian atau sidang akhir disertasi di Jepang sangat berkesan bagi saya. Lebih berkesan daripada ketika melakukan ujian akhir itu sendiri. Pada kesempatan ini, saya akan berbagi mengenai apa yang dipersiapkan ketika akan melakukan ujian disertasi di Jepang.

1. Mengumpulkan dokumen tesis

Berbeda dari judulnya, rupanya dokumen yang dikumpulkan meliputi: ringkasan disertasi maksimum 4 halaman, list publikasi yang telah dilakukan selama 3 tahun, halaman pertama disertasi, lembar pernyataan peneliti lain (bila sudah dipublikasi di jurnal, harus disetujui oleh authors kalau data tersebut boleh digunakan untuk disertasi), pernyataan akan dipublikasi (bagi yang belum publikasi, publikasi bisa berupa up load disertasi di web universitas), dan seterusnya. Saya perlu menyisihkan waktu hampir satu minggu untuk mempersiapkan dokumen ini, terutama bagian summary thesis yang direvisi hampir 7 kali. Bahkan, setelah dikumpulkan harus saya tarik ulang karena ada salah ketik satu angka (yang tidak mempengaruhi hasil akhir), cuma ini menunjukkan betapa “peneliti” harus “teliti”.

2. Menyusun dan merevisi disertasi

Disertasi awal saya (draf) terdiri atas sekitar 120 halaman, yang setelah direvisi oleh dua orang profesor di lab kami berubah menjadi 180 halaman, inipun masih kurang. Konon, saya terlalu “humble” menyampaikan data. Padahal, data yang saya kumpulkan demikian banyak. Kalau boleh jujur, disertasi akhir saya itupun masih ada sekitar 5-10 data yang tidak bisa dimasukkan karena sudah terlalu penuh data. Ini terjadi karena saya sempat ganti judul tiga kali, dan rupanya judul terakhir, kedua, dan pertama dapat dirangkai menjadi satu cerita utuh. Alhasil, tidak ada data (kecuali yang terlewat) yang dilewatkan. Cukup berat atau boleh dikatakan sangat berat untuk menulis dan membuat sintesis dari seluruh data yang sudah dikumpulkan ini.

Proses penulisan sampai akhirnya sensei memberikan lampu hijau untuk mengumpulkan disertasi ke penguji membutuhkan waktu sekitar 40 hari, dengan revisi saya hitung sampai sekitar 17 kali. Revisi 1-7 terbilang brutal karena bisa mengganti banyak alur berfikir dan arah disertasi, sedangkan sepuluh revisi terakhir adalah upaya untuk “menyempurnakan” dan menghilangkan “keambiguan”. Ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya karena benar-benar transformatif. Membandingkan tulisan awal dan disertasi yang saya kumpulkan untuk ujian seperti membandingkan dua gambar gunung yang saya buat ketika taman kanak-kanak dengan lukisan yang saya buat ketika SMA. Well, meskipun mungkin menurut sensei yang sudah levelnya S3, tulisan saya masih “sederhana”, saya merasa bersyukur bisa banyak belajar di sini.

3. Mengirim berkas dan Mempersiapkan ujian final defense/ viva/ promosi

Saat sudah selesai, disertasi itu saya cetak sendiri di mesin fotokopi lab. Setelah selesai, saya jilid sendiri (yang hasilnya sangat mengecewakan, ha ha), lalu print sendiri surat pengantar untuk penguji, dan dikirimkan sendiri ke ruangan masing-masing penguji. Uniknya, semua penguji saya tidak ada yang berangkat ke lab sampai hari terakhir pengumpulan disertasi, sehingga saya kirimkan via post dan nitip ke sensei yang satu gedung dengan penguji. Bedanya dengan negeri seberang, sensei di sini dengan senang hati menerimanya, tidak protes, tidak merasa direndahkan, tidak merasa “aneh” kalau disertasi dikirim via pos. Mungkin sensei level dewa tidak butuh di dewa kan? well, ini pelajaran berharga bagi saya juga.

Persiapan ujian juga tidak kalah hectic, karena harus meminjam kunci ruangan, mengecek apakah AC berfungsi, LCD monitor oke, lampu ruangan berfungsi dengan baik, lantai bersih dll.

4. Membuat dan merevisi slide presentasi

Ini juga tidak mudah, bahkan membutukan waktu sekitar 20 jam diskusi intens bersama dua professor di laboratorium, belum termasuk revisi melalui email. Saya merasa bahwa professor di sini benar-benar serius dalam mempersiapkan sesuatu, jadi kita juga tidak boleh “santai-santai”. bahkan, pernah revisi dari salah satu professor saya terima jam 2 pagi, artinya beliau merevisi catatan “kakiayam” saya sampai jam 2 pagi sebelum dikirimkan balik ke saya.

Intens dan benar-benar menegangkan revisi slide presentasi ini. Bahkan, juga disertai dengan revisi “kata-kata” yang akan digunakan ketika presentasi untuk menjamin presisi dari apa yang ditulis dan disampaikan. Saya berlatih sampai suara saya hampir hilang selama 4 hari berturut-turut. Untungnya, masih ada sisa suara untuk hari-H.

5. Hari-H ujian promosi

Hari H ujian promosi, saya datang meminjam kunci, mengecek ruangan, mencoba LCD, dan seterusnya sampai akhirnya sekitar 15 menit sebelum jadwal ujian satu per satu sensei penguji datang ke ruangan. Mereka langsung membuka laptop dan membolak-balik disertasi saya yang penuh coretan dan penanda possit, menandakan benar-benar dibaca. Berbeda sekali dengan pengalaman saya ujian S1 dan S2.

Lalu, entah kenapa ujian berjalan dengan sangat cepat, kata-kata yang saya latih sudah seperti menjadi satu dengan slide, dan diskusi mengalir seperti diskusi yang membangun, bukan menghakimi. Di akhir, saran-saran perbaikan dan penelitian yang masih bisa dilakukan untuk mendukung teori saya diberikan dan lalu ditutup. Inipun, sangat sederhana untuk ukuran salah satu universitas terbaik di Jepang (saya kuliah di Grad. Sch. Agriculture and Life science, Departemen Bioteknologi, Tokyo Daigaku/ The University of Tokyo). Setelah itu, revisi tulisan, dan kehidupan kembali seperti semula.

Inilah pengalaman saya mempersiapkan ujian sampai akhirnya ujian disertasi. Meskipun masih panjang jalan untuk ditempuh, saya merasa ada kebahagiaan untuk bisa banyak belajar mengenai dunia ilmiah para ilmuan dunia di lab ini.

Tokyo, 2023

Mencari-cari Kesalahan Sendiri


Ceritanya, setelah revisi ke sekian, saya mulai menemukan pola yang menarik dari sistem bimbingan di Laboratorium yang saya ikuti. Mungkin terlalu cepat kalau disebut pola bimbingan di Jepang karena banyak juga teman dari Indonesia yang tidak mengalami hal yang saya alami. Sehingga, saya sebut sistem pembimbingan di lab saya sebagai: game mencari-cari kesalahan.

Contohnya adalah ketika saya mengirimkan slide presentasi, para professor akan berkumpul dan mendiskusikan intinya. Ketika inti atau garis besar yang saya sampaikan sudah OK, maka kini waktunya untuk game dimulai. Saya dipanggil, didudukkan bersama dua sampai tiga professor di lab, lalu mulai membuka slide presentasi satu demi satu. Lalu, mulailah yang sering disebut sebagai “pembantaian” atau “dicecar” itu.

Awalnya, saya merasa sakit hati dan makin merasa bodoh. “kok ya sedemikian detail mencari kesalahan saya” pikir saya. Ini berlangsung sekitar satu minggu dan semangat saya mulai pudar. Namun, pada suatu hari seorang professor senior yang telah menyampaikan perbaikan kalimat XXX, membuka kalimat yang beliau sampaikan. Seorang professor muda menyampaikan hal tersebut tidak benar, lalu mereka bertiga berdiskusi dalam bahasa Jepang yang saya tidak paham, lalu di akhir si professor senior mengatakan “yang benar Prof YA, kalimat saya kemarin salah. Yuk, diganti”. Pada momen ini, saya sadar bahwa ini bukan game mencari-cari kesalahan orang lain, melainkan game mencari-cari yang paling mendekati kebenaran atau maksud yang ingin disampaikan.

Semenjak saat ini, saya menjadi semakin semangat untuk bermain game baru: mencari-cari kesalahan sendiri. Dengan demikian, saya tidak berat hati kok kalau ada yang menunjukkan kesalahan saya, toh, ini juga untuk “memperbaiki” dan “belajar”. Kalau diambil hati a.k.a baper, ya tidak move on.

Tokyo, 2023 Edisi revisi slides final defense

Latihan itu berat!


Latihan apapun itu akan terasa berat. Latihan berpuasa, berat. Latihan lari, berat. Latihan sepak bola, berat. Latihan diet, berat. Latihan menulis, berat. Latihan meneliti, berat. Latihan apapun saya kira, berat.

Namun, kenapa melakukan latihan? Bayangkan langsung intermitten fasting (IF) tanpa latihan. Bayangkan pelari maraton tanpa latihan. Bayangkan atlet sepakbola tanpa latihan. Bayangkan diet tanpa latihan. Bayangkan menulis disertasi tanpa latihan. Bayangkan melakukan analisis HPLC tanpa latihan. Bayangkan melakukan apapun, bahkan ke toilet, tanpa latihan. Hasilnya, ya hasilnya bisa dipastikan: horrible, mengerikan!

Sehingga, latihan yang hard sepertinya adalah untuk menghindari horrible result! Melakukan hal yang berat, untuk menghindari musibah. Maka keduanya menjadi saling berkaitan.

Sayangnya, saya sering melihat disrepancy di lapangan. Ada yang ingin lingkungan sekitarnya bebas banjir, tapi tidak mau berlatih untuk memanage sampah yang dibuang. Ada yang berharap bisa pintar berbahasa Inggris, tapi tidak mau menyisipkan sejam dua jam setiap hari untuk berlatih bahasa. Ada yang berharap bisa dapat nilai A di ujian akhir, tapi tidak mau menelan pahitnya belajar.

Untuk itu, saya sering menganalogikan ini sebagai buah simalakama. Di makan tidak dimakan, sama sama buruk. Hanya saja, kalau tidak dimakan, dampaknya lebih buruk. Oleh karenanya, kenapa tidak ditelan saja berat dan pahitnya latihan? Jawabannya sederhana: karena saya bisa menundanya! Well, menunda bisa menjadi momok yang lebih buruk lho: dia lebih menghantui waktu bersenang-senang kita. Sehingga, alangkah baiknya kita “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Berpayah latihan, agar tidak jadi musibah kemudian. Dengan niat yang baik, semoga jadi amal yang dihitung oleh-Nya.

Tokyo, 2023 persiapan final defense

Puisi Sekuen


to: STRMDN

Seperti simbol-simbol pada untai peptida. Satu dimensi tanpa definisi. Hanya: melengkung, menghindar, berjumpa, dan melipat. Maka makna serupa enzim atau biotin bisa dilihat. Pun hanya dengan Pymol atau Alphafold. Meski aku cuma punya Chimera. Demikian dua rasa kamu dan aku: kita. Menjadi makna saat berdua. Dua unit monomer, satu interface, dan dua active site jadi satu.

Tokyo, 2023

Revisi tak pernah cukup!


Dulu, ketika membimbing mahasiswa untuk menulis tugas akhir, saya selalu berpesan mengenai revisi sebagai hukum 3,5,7,12. Maksudnya, sesedikit-sedikitnya revisi adalah 3 kali dan sebanyak-banyaknya revisi adalah 12 kali revisi. Agak berlebihan dan tidak saintifik (tidak ada dukungan data, mungkin bagi para data scientist bisa mengumpulkan data ini?), tapi lebih bersifat “penyemangat”.

Usut punya usut, rupanya mereka malah tidak bersemangat. Justru down. Justru mengutuk para dosen killer (saya included “dengar-dengar” dan tidak bangga!) yang gethol merevisi tulisan mahasiwa. Mereka mungkin berharap sekali tulis langsung jadi, tanpa revisi, minggu depannya ujian, dan kemudian lulus.. voilla sarjana!

Sayang di sayang, itu semua hanya bagian dari “hayalan” yang terlalu panjang. Hayalan sudah tinggi, ditambah panjang. Tinggi x panjang = mimpi? (sekali lagi non saintifik ha ha). Kenyataannya, sependek-pendeknya revisi tetap saja 3 kali. Kali pertama mengumpulkan. Kali kedua di acc. kali ketiga mengumpulkan versi final yang tidak direvisi. Lho, tetap tiga kali “revisi” tanpa revisi.

Nah, kembali lagi ke urusan “revisi tak pernah usai!” ulasan ini sebenarnya karena saya sedang merevisi tulisan akhir saya. Untuk abstrak, ini adalah revisi ke 5 kali dan masih ada kekeliruan. Kekeliruan terakhir yang barusan masuk surelnya adalah “T. thermophillus is wrong, the correct one is T. thermophilus. Be carefull!” ada yang menemukan bedanya? Yup: saya mengetik double “L” di tulisan saya, padahal yang benar satu “L”.

Terkadang, mahasiswa saya mengatakan “itu kan remeh temeh pak. kenapa juga diributkan?” di dalam hatinya paling dalam. Hm.. mungkin ini yang saya katakan kali ya. Nah, sebenarnya berusaha menjadi “peneliti” harus memiliki karakteristik “teliti”. Salah satu huruf konon menunjukkan “tidak teliti” atau “masih belum ahli”.

Namun, alih-alih down, saya justru bersemangat 45. Apa sebab? Karena pembimbing saya benar-benar perhatian dengan catatan yang saya lakukan. Sebab tulisan yang saya ketik sudah dibaca oleh ilmuwan level dunia (yaitu dua orang pembimbing saya ha ha ha). Sebab, Tuhan mau mengajari saya bahwa percuma saja terlalu lama mengutak-atik draf, toh bakal ada revisi juga. So, kumpulkan drafnya dan siap-siap untuk revisi.

Meminjam statemen ulama Indonesia “menulis ilmiah bukan seperti menulis surat cinta (yang harus sempurna), segera kumpulkan dan “harapkan kritik” (atau revisi)”. Ini namanya mencari ilmu. Kalau sudah sempurna, lalu kenapa menuntut ilmu? Well, setidaknya banyak hal akhirnya jatuh pada tempat yang semestinya. Yang paling penting adalah terus melangkah maju, no offense dan jangan ambil hati! mereka punya niat baik.

Chiba, 2023

Siapa dan Apa yang diteliti oleh Top Cited Scientist versi Google Scholar bidang Mikrobiologi Pangan


Note: hanya catatan iseng, tidak boleh digunakan sebagai rujukan!

(Note: just a casual note, should not be used as a reference!)

Pagi ini, selama di kereta dari stasiun terdekat dari rumah menuju Tokyo, saya iseng-iseng mencari ilmuwan bidang Mikrobiologi Pangan yang memberi sumbangsih besar dalam bidangnya. Memang, metode search saya tidak terlalu advance karena menggunakan satu sumber saja yaitu Google Scholar, sehingga mungkin tidak representasi realitasnya. Hasilnya, 5 ilmuwan dengan jumlah sitasi terbesar di GS adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Lima ilmuwan bidang Mikrobiologi Pangan dengan sitasi terbesar versi Google Cendekia (diakses pada 15 Mei 2023).

Kemudian, saya membuat penelusuran lebih dalam, penelitian apa yang paling banyak disitasi dari 10 ilmuwan teratas sitasi versi GS. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Bidang penelitian dengan jumlah sitasi lebih dari 500 yang ditulis oleh Top 10 Scientist bidang Mikrobiologi Pangan versi Google Cendekia (diakses pada 15 Mei 2023)

Berdasarkan data (tentunya sangat minim, tidak bisa digunakan sebagai acuan) pada Gambar 2, diketahui bahwa Top 10 Scientist dengan jumlah sitasi terbanyak versi GS meneliti Probiotik/ bakteri asam laktat dan penelitian terkait, diikuti mikrobiota usus, senyawa aktif, fermentasi, dan pembusukan daging/ikan. Saya terkejut ketika membaca data ini karena kebetulan banyak penelitian saya terkait hal tersebut. Rupanya, secara tidak sadar saya terpengaruh oleh peneliti-peneliti ini ya.

Lalu, masih dengan keisengan saya, saya penasaran dengan penelitian beliau Top 10 ini belakangan ini bertema apa. Ini hasil iseng saya:

Gambar 3. Tema penelitian terkini yang dipublikasi oleh Top 10 Ilmuwan bidang Food Microbiology versi Google Cendekia

Rupanya, belakangan ini beliau-beliau ini penelitian tentang Fermentasi, bakteri asam laktat atau probiotic, pengaruh pengolahan terhadap kualitas mikrobiologis pangan, keamanan pangan, diikuti oleh bahan aktif dari dan pengaruhnya terhadap mikroorganisme pangan. Tentunya, ini tidak bisa digunakan sebagai acuan bahwa tren ke depan akan tetap dikuasai oleh fermentasi dan bakteri asam laktat/probiotic related, namun kedua tema penelitian ini masih tetap relevan untuk dilakukan.

Berkaca dari keisengan saya pagi ini, ada beberapa catatan yang saya temui, yaitu:

  1. Para peneliti ini konsisten meneliti suatu tema hingga puluhan tahun
  2. Fermentasi adalah jenis pengolahan/processing yang paling “seksi” untuk diteliti
  3. teman dari fermentasi adalah “bakteri asam laktat”, “yeast”, dan “Escherichia coli:: vektor”
  4. Tema enzim tidak terlalu dilirik oleh para ilmuwan ini, mungkin karena bukan bidang keilmuwan utama beliau-beliau.

Sekian keisengan hari ini. Semoga menyemangati para Food Microbiologist. You’r not alone!

Tokyo, 2023

Antara Ilmu, Seni, dan Akhlak


“ketika mencari kebenaran, di sana engkau mendapatkan ilmu. Di saat mencari keindahan, di sana engkau mendapatkan seni. Lalu, ketika engkau mencari ketenangan hati, di situ engkau membangun akhlak” MQS

Antara ilmu, seni, dan akhlak. Untuk yang pertama, semua orang menyadari betapa pentingnya ini sehingga uang seberapa banyakpun dikeluarkan untuk mendidik anak-anak agar memiliki dan mendapatkan ilmu. “seberapapun miskinnya kita, tidak miskin untuk pendidikan anak” pepatah negeri seberang mengatakan. Mungkin, dengan logika serupa saya sampai di negeri Jepang untuk mendapatkan ilmu bioteknologi sel. Tentang mencari kebenaran mekanis dan empiris sel, enzim, serta metabolit yang tak kasat mata.

Untuk seni, tak jarang kita mengenal musik, lukisan, pertunjukan. Musik menghiasi waktu demi waktu, sebagai bentuk pelarian diri dari realitas atau menenangkan hati yang galau. Lukisan memberikan kesan dalam betapa ia merepresentasikan visual dan pikiran manusia. Adapun pertunjukan, film, berita, semua adalah seni tak ada hentinya.

Terakhir adalah akhlak. Akhlak kepada Pencipta adalah senantiasa mengingat dan menyadari kita sedang dihitung dan diawasi (dengan cinta yang tak terukur). Akhlak pada orang tua adalah takzim meskipun mendapatkan perlakuan buruk. Akhlak pada tetangga adalah tak mengganggu mereka dengan suara, tangan, ataupun bisik tak mengenakkan. Akhlak pada diri adalah merawat kesehatan, psikologis, dan menumbuhkan jiwa yang hidup. Akhlak adalah penyempurna manusia setelah ia “mengetahui” dan “menikmati keindahan”. Karena ia puncak, maka tak jarang kita melupakannya. Semoga tidak.

Tokyo, 2023