Esensi Professor

Belakangan ini saya menemukan bahwa tujuan hidup kita saya tidak selalu sama dengan apa yang kita saya kerjakan. Seperti contohnya, kalau tujuan hidup saya adalah menjadi seorang profesor, dan saya bergelut dengan dunia administrasi, maka bagaimana tujuan itu dapat dicapai? Aneh memang, namun itu yang sering kita saya lakukan.

Ada yang mengatakan kalau jalan yang saya lalui sudah benar. Katanya, benar kalau menjadi seorang professor itu harus bisa administrasi. Sebab harus ada KUM, harus ada data yang diinput, harus ada prosedural untuk administrasi lain, seperti pelaporan semester dan seterusnya.

Untuk pernyataan ini saya tidak bisa mengelak. Benar. Memang benar seorang yang hendak menjadi profesor harus mengumpulkan KUM dst, namun yang saya sampaikan bukan pada ranah gelar profesor alias guru besar di depan nama saya. Saya tidak terlalu peduli dengan gelar apapun yang menempel di depan atau di belakang nama saya. Toh, kelak ketika saya sudah tiada, gelar-gelar itu hanya menghambat penulisan surat undangan saja.

Saya maksud profesor di sini adalah esensi. Sering kali saya bertanya, apakah esensi menjadi seorang profesor? dan beragam jawaban muncul. Apakah mereka yang mengurusi administrasi level rektorat, fakultas, atau program studi dengan demikian bersemangatnya? atau mereka yang berkeliling dunia memberikan inspirasi mengenai kuliah, ilmu, dan kepakarannya? atau mereka yang selalu termenung di laboratorium atau perpustakaan untuk membongkar sebuah teka-teki yang Allah ciptakan? atau mereka yang terus mematenkan apa yang mereka temukan agar ada pengakuan dari orang lain bahwa mereka kreatif? atau siapa?

Bagi saya, profesor berarti mampu menebak dengan baik apa yang akan terjadi. Dengan menebak benar berdasarkan semua data dan pemikiran yang ada, maka akan ada kebijakan. Kebijakan itu yang akan menelorkan inspirasi keteraturan, kepakaran, jalan keluar, dan pengakuan. Semua yang dikejar adalah bayang-bayang, sedangkan seorang profesor yang sesungguhnya akan mengejar cahaya. Cahaya kebijaksanaan untuk memikirkan rakyat lebih dari diri mereka. Cahaya terang ini, nampaknya masih terlalu sering saya punggungi. (RumahPikiran2016)

4 Comments

  1. titintitan says:

    Ini kata barunya?

    Like

    1. HaKim says:

      Iya, belum tertata pikirannya. Semoga sudah lebih bisa dibaca, 😀

      Like

      1. titintitan says:

        Liat gravatarnya lbh fresh :D.
        Smg lebih smangat.

        Png baca omar timbul lg *eh, bnr kn namanya? 😀

        Like

      2. HaKim says:

        Yup.. amiin.

        Like

Leave a Comment